Air adalah masalah terbesar dan tertua di Jakarta. Bahkan sejarawan
Susan Blackburn dalam bukunya tentang sejarah panjang Jakarta yang
sangat ensiklopedis, Jakarta: A History, menyatakan, "Air punya reputasi yang melegenda dalam waktu lama sebagai pembunuh utama di Jakarta."
Jakarta
sesungguhnya kota yang kaya akan air. Tapi kekayaan ini telah menjadi
musibah bagi penduduknya karena salah urus dan menjelma menjadi banjir
serta sarang ideal bagi nyamuk anofeles, sang penyebar maut malaria,
kemudian demam berdarah. Selain itu, ironis bahwa Jakarta terlalu sering
mengalami krisis air.
Para sejarawan menyimpulkan krisis air itu
pula salah satu penyebab utama pemindahan ibu kota kemaharajaan
kolonial Belanda. Pada akhir abad ke-18, Gubernur Jenderal Pieter
Gerardus van Overstraten memulai proses meninggalkan Oud Batavia secara
bergelombang menuju tempat baru, Nieuw Batavia, di sekitar Gambir, dan
dinamakan Weltevreden atau sangat memuaskan.
Kepindahan itu
adalah puncak dari keluhan dan protes keras yang terlalu sering terjadi
karena pasokan air bersih yang bermasalah di Batavia sejak 1720-an. Saat
itu apa yang diungkapkan pada 1685 oleh seorang dokter semakin nyata
kebenarannya. Di dalam air Ciliwung dan waterplas alias pancuran sumber air bersih di Glodok terdapat onzichtbare beejes atau binatang-binatang halus yang tak tampak mata. Ciliwung tercemar.
Studi Leonard Blusse dalam Strange Company
membuktikan perkebunan tebu dan industri gula di sekitar Ciliwung yang
ditinggalkan begitu saja karena krisis membuat pelumpuran hebat di
kanal-kanal intramuros alias Kota Benteng Batavia. Lumpur ini
ditambah sampah dan tinja akhirnya membuat Ciliwung dan kanal-kanalnya
bau busuk. Sejak itu lenyaplah legenda Ciliwung selama seratus tahun
sebelumnya yang ditulis Jean-Baptiste Tavernier, "la plus belle eau et la meilleure qui soit au monde", atau airnya yang paling bersih dan baik sedunia.
Jangankan
masyarakat kelas bawah, bahkan gubernur jenderal kesulitan air bersih,
kalaupun ada mahal sekali. Untuk satu tahang alias ember kecil air
bersih, banderolnya tinggi. Hanya kaum kaya yang mampu beli. Pedagang
mengambilnya dari sumber air bersih di selatan. Mereka masuk Kota
Batavia dan menjajakan dengan perahu yang dikayuh sepanjang kanal seraya
menawarkan. Tapi, menurut F. de Haan dalam Oud Batavia, para superkaya kompeni enggan minum air kali yang dijajakan itu, sekalipun sudah dalam keadaan dijernihkan.
Air
adalah masalah hidup atau mati bagi penghuni Batavia. Air menjadi emas.
Apa pun dilakukan untuk mendapatkan air bersih. Gubernur Jenderal
Diederik Durven (1729-1732) adalah saksi yang tegang atas krisis air
bersih dan harganya yang tinggi di Batavia. Ia perintahkan penggalian mookervart
(saluran) untuk meningkatkan pasokan air bersih ke Batavia. Tapi niat
baik itu berakibat paradoksal. Air bersih tak datang, tapi remiterrende rotkoorsten (demam maut), febres ardentes, malignae et putridae mort de chien
(demam parah, jahat, busuk, dan mati mendadak) atau penyakit malaria
yang hadir. Niat mendapatkan air bersih berujung korban nyawa ribuan
penghuni Batavia.
Selanjutnya, Gubernur Jenderal VOC Reiner de
Klerck (1777-1780) sangat tidak senang dengan kondisi krisis air, tapi
baginya sudah tidak bisa diperbaiki, dan ia memutuskan pindah. Reiner de
Klerck rela keluar ongkos besar untuk memboyong istrinya, Sophia
Francina Westpalm, dan 150 budaknya agar bisa keluar dari intramuros dan mendapatkan air yang voortrefelijk (sangat baik). Ia membangun rumah mewah yang sekarang menjadi gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada Nomor 11.
Apakah
setelah pindah, masalah air bersih terselesaikan? Tidak juga, karena
begitu Reiner de Klerck menaruh jabatan, keputusan pindah ke Weltevreden
dilaksanakan, dan seabad kemudian mulai keluhan air bersih terdengar
lagi. Pada 1930-an, M.H. Thamrin berteriak-teriak masyarakat bawah harus
membayar mahal air bersih. Lantas, sekitar 50 tahun kemudian, pada
1980-an, ada data yang menunjukkan 55,50 persen warga Jakarta yang
menggunakan air tanah dan 44,49 persen yang menggunakan air PDAM
dinyatakan minum air yang tercemar. Karena itu, pada 1986 terbit
penelitian F.G. Winarno bahwa setiap tahun lebih dari 3,5 juta anak di
bawah usia 3 tahun terserang radang saluran pencernaan dan diare dengan
jumlah kematian 3 persen atau sekitar 105 orang. Keadaan akan makin
buruk karena sungai-sungai sebagai sumber air baku layanan air bersih
sudah menjadi tong sampah raksasa, limbah saja isinya.
Pada
2000-an, mulai santer berita yang mengatakan sistem layanan air bersih
di Jakarta tidak dapat diandalkan dan tidak berkelanjutan untuk masa
depan. Ini terbukti karena, menurut catatan Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia, selama 10 tahun terakhir ini pengaduan tentang layanan air
bersih tertinggi. Dan layanan air bersih yang buruk bikin penyedotan air
tanah terus berlangsung dan penurunan permukaan tanah tidak dapat
diperlambat.
Sampai di sini ada ironi, sementara di permukiman
orang kaya dapat pelayanan air bersih dan hanya membayar Rp 9.000, di
beberapa tempat warga miskin dipaksa membeli air dengan harga sangat
mahal karena tidak terlayani jaringan pipa air bersih. Warga miskin di
kelurahan yang tidak terlayani jaringan pipa harus membeli air bersih
yang dijual eceran Rp 125 ribu per meter kubik. Padahal harga rata-rata
air bersih dari PAM Jaya hanya Rp 7.500 per meter kubik. Di Jakarta air
jadi yang termahal di dunia justru untuk rakyat miskin.
Orang bilang sejarah berulang, sukar dipercaya tapi cobalah dipahami. Betapa rentannya tingkat keamanan air minum (water security)
di Ibu Kota. Tingkat keamanan air bersih di Jakarta sangat rendah,
hanya sekitar 2,2 persen, atau jika ditambah dengan air tanah dalam
menjadi 27,2 persen, masih jauh di bawah Singapura yang mencapai 98
persen, sehingga rawan terjadi krisis. Kali rusak dan cemar, air tanah
kena intrusi dan bakteri E. coli.
Jakarta krisis air
bersih. Untuk kesekian kali, setelah hampir 300 tahun, terantuk pada
soal yang sama, dan itu, meminjam kata Thamrin, "Lantaran kesalahan kita
sendiri, menganggap masalah di sini (Jakarta) adalah takdir, sesuatu
yang tidak bisa diubah."
*) J.J. Rizal, Sejarawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar