Entri Populer

Senin, 05 Desember 2011

300 Tahun Masalah Air Jakarta

Ikuti BusinessHYDRO di Twitter


Air adalah masalah terbesar dan tertua di Jakarta. Bahkan sejarawan Susan Blackburn dalam bukunya tentang sejarah panjang Jakarta yang sangat ensiklopedis, Jakarta: A History, menyatakan, "Air punya reputasi yang melegenda dalam waktu lama sebagai pembunuh utama di Jakarta."

Jakarta sesungguhnya kota yang kaya akan air. Tapi kekayaan ini telah menjadi musibah bagi penduduknya karena salah urus dan menjelma menjadi banjir serta sarang ideal bagi nyamuk anofeles, sang penyebar maut malaria, kemudian demam berdarah. Selain itu, ironis bahwa Jakarta terlalu sering mengalami krisis air.

Para sejarawan menyimpulkan krisis air itu pula salah satu penyebab utama pemindahan ibu kota kemaharajaan kolonial Belanda. Pada akhir abad ke-18, Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten memulai proses meninggalkan Oud Batavia secara bergelombang menuju tempat baru, Nieuw Batavia, di sekitar Gambir, dan dinamakan Weltevreden atau sangat memuaskan.

Kepindahan itu adalah puncak dari keluhan dan protes keras yang terlalu sering terjadi karena pasokan air bersih yang bermasalah di Batavia sejak 1720-an. Saat itu apa yang diungkapkan pada 1685 oleh seorang dokter semakin nyata kebenarannya. Di dalam air Ciliwung dan waterplas alias pancuran sumber air bersih di Glodok terdapat onzichtbare beejes atau binatang-binatang halus yang tak tampak mata. Ciliwung tercemar.

Studi Leonard Blusse dalam Strange Company membuktikan perkebunan tebu dan industri gula di sekitar Ciliwung yang ditinggalkan begitu saja karena krisis membuat pelumpuran hebat di kanal-kanal intramuros alias Kota Benteng Batavia. Lumpur ini ditambah sampah dan tinja akhirnya membuat Ciliwung dan kanal-kanalnya bau busuk. Sejak itu lenyaplah legenda Ciliwung selama seratus tahun sebelumnya yang ditulis Jean-Baptiste Tavernier, "la plus belle eau et la meilleure qui soit au monde", atau airnya yang paling bersih dan baik sedunia.

Jangankan masyarakat kelas bawah, bahkan gubernur jenderal kesulitan air bersih, kalaupun ada mahal sekali. Untuk satu tahang alias ember kecil air bersih, banderolnya tinggi. Hanya kaum kaya yang mampu beli. Pedagang mengambilnya dari sumber air bersih di selatan. Mereka masuk Kota Batavia dan menjajakan dengan perahu yang dikayuh sepanjang kanal seraya menawarkan. Tapi, menurut F. de Haan dalam Oud Batavia, para superkaya kompeni enggan minum air kali yang dijajakan itu, sekalipun sudah dalam keadaan dijernihkan.

Air adalah masalah hidup atau mati bagi penghuni Batavia. Air menjadi emas. Apa pun dilakukan untuk mendapatkan air bersih. Gubernur Jenderal Diederik Durven (1729-1732) adalah saksi yang tegang atas krisis air bersih dan harganya yang tinggi di Batavia. Ia perintahkan penggalian mookervart (saluran) untuk meningkatkan pasokan air bersih ke Batavia. Tapi niat baik itu berakibat paradoksal. Air bersih tak datang, tapi remiterrende rotkoorsten (demam maut), febres ardentes, malignae et putridae mort de chien (demam parah, jahat, busuk, dan mati mendadak) atau penyakit malaria yang hadir. Niat mendapatkan air bersih berujung korban nyawa ribuan penghuni Batavia.

Selanjutnya, Gubernur Jenderal VOC Reiner de Klerck (1777-1780) sangat tidak senang dengan kondisi krisis air, tapi baginya sudah tidak bisa diperbaiki, dan ia memutuskan pindah. Reiner de Klerck rela keluar ongkos besar untuk memboyong istrinya, Sophia Francina Westpalm, dan 150 budaknya agar bisa keluar dari intramuros dan mendapatkan air yang voortrefelijk (sangat baik). Ia membangun rumah mewah yang sekarang menjadi gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada Nomor 11.

Apakah setelah pindah, masalah air bersih terselesaikan? Tidak juga, karena begitu Reiner de Klerck menaruh jabatan, keputusan pindah ke Weltevreden dilaksanakan, dan seabad kemudian mulai keluhan air bersih terdengar lagi. Pada 1930-an, M.H. Thamrin berteriak-teriak masyarakat bawah harus membayar mahal air bersih. Lantas, sekitar 50 tahun kemudian, pada 1980-an, ada data yang menunjukkan 55,50 persen warga Jakarta yang menggunakan air tanah dan 44,49 persen yang menggunakan air PDAM dinyatakan minum air yang tercemar. Karena itu, pada 1986 terbit penelitian F.G. Winarno bahwa setiap tahun lebih dari 3,5 juta anak di bawah usia 3 tahun terserang radang saluran pencernaan dan diare dengan jumlah kematian 3 persen atau sekitar 105 orang. Keadaan akan makin buruk karena sungai-sungai sebagai sumber air baku layanan air bersih sudah menjadi tong sampah raksasa, limbah saja isinya.

Pada 2000-an, mulai santer berita yang mengatakan sistem layanan air bersih di Jakarta tidak dapat diandalkan dan tidak berkelanjutan untuk masa depan. Ini terbukti karena, menurut catatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, selama 10 tahun terakhir ini pengaduan tentang layanan air bersih tertinggi. Dan layanan air bersih yang buruk bikin penyedotan air tanah terus berlangsung dan penurunan permukaan tanah tidak dapat diperlambat.

Sampai di sini ada ironi, sementara di permukiman orang kaya dapat pelayanan air bersih dan hanya membayar Rp 9.000, di beberapa tempat warga miskin dipaksa membeli air dengan harga sangat mahal karena tidak terlayani jaringan pipa air bersih. Warga miskin di kelurahan yang tidak terlayani jaringan pipa harus membeli air bersih yang dijual eceran Rp 125 ribu per meter kubik. Padahal harga rata-rata air bersih dari PAM Jaya hanya Rp 7.500 per meter kubik. Di Jakarta air jadi yang termahal di dunia justru untuk rakyat miskin.

Orang bilang sejarah berulang, sukar dipercaya tapi cobalah dipahami. Betapa rentannya tingkat keamanan air minum (water security) di Ibu Kota. Tingkat keamanan air bersih di Jakarta sangat rendah, hanya sekitar 2,2 persen, atau jika ditambah dengan air tanah dalam menjadi 27,2 persen, masih jauh di bawah Singapura yang mencapai 98 persen, sehingga rawan terjadi krisis. Kali rusak dan cemar, air tanah kena intrusi dan bakteri E. coli.

Jakarta krisis air bersih. Untuk kesekian kali, setelah hampir 300 tahun, terantuk pada soal yang sama, dan itu, meminjam kata Thamrin, "Lantaran kesalahan kita sendiri, menganggap masalah di sini (Jakarta) adalah takdir, sesuatu yang tidak bisa diubah."

*) J.J. Rizal, Sejarawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar