JAKARTA - Ahad (27/11/2011), Yudhie tak lagi kuat
menahan dahaga. Pria berambut gondrong ini menemui
seorang pedagang air mineral di stand acara fun bike yang
diselenggarakan harian Warta Kota di lapangan Banteng, Jakarta.
“Ada air yang dingin, mbak?” tanya Yudhie pada pedagang perempuan, yang ramah menyambut kedatangan peserta fun bike.
“Ada, mau yang mana? tanya pedagang perempuan, mengangkat telapak
tangan dan sejurus kemudian membuka pintu pendingin air sejumlah
minuman botol plastik kemasan 500 ml.
“Itu saja yang warna jingga,” jawab Yudhie seraya menawarkan air minum kepada seorang rekannnya.
“Sampeyan mau minum yang mana. Monggo pilih,” tawar Yudhie.
“Kalau air mineral yang dingin ada mbak?” tanya rekan Yudhie.
“Sudah habis dari tadi. Tinggal yang ini saja. Kalau mau menunggu,
teman saya sebentar lagi tiba,” jawab pelayan perempun diiringi senyum
mengembang.
“Enggak usah, mbak. Sudah haus bangat, nih. Samakan saja dengan minuman teman saya,” pinta rekan Yudhie.
Mengeluarkan selembar duit senilai Rp 10 ribu, jual beli minuman
segera tuntas. Dua botol plastik minuman berisi 500 ml berada di
tangan, dan langsung diseruput si empunya.
Inilah sepenggal kisah upaya mendapatkan air minuman siap saji di Ibu
Kota Jakarta, yang dua bulan terakhir disergap teriknya sengatan
matahari. Mahfum saja, sejak Oktober matahari ditengarai sejumlah
peneliti Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berada di
atas Pulau Jawa. Sehingga, warga yang tinggal di Pulau Jawa bakal
merasakan teriknya sengatan matahari.
Bila ada uang di saku, persoalan dahaga saat beraktivitas di bawah
teriknya sengatan matahari mudah ditangani dengan cepat. Dan untungnya,
harga air minuman siap saji yang ditawarkan kepada konsumen tidaklah
terlalu mahal. Pun, berbagai perusahaan air minuman kemasan
berlomba-lomba menciptakan inovasi baru untuk menghadirkan produk
minuman kemasan yang harganya tidak selangit, dan memikat konsumen.
Namun, upaya ‘darurat’ mengatasi dahaga tentunya tak akan selalu
bergantung pada air minuman kemasan. Warga Jakarta pun mesti berhitung
soal mendapatkan air minuman bersih ini. Bayangkan saja, bila sehari
membutuhkan tiga botol kemasan senilai Rp 5000, itu berarti dalam
sebulan kebutuhan mengatasi dahaga mencapai Rp 450 ribu. Dan dalam
setahun menghabiskan dana sekitar Rp 5,4 juta. Cukup besar bukan?
Walhasil, upaya yang dilakoni warga Jakarta adalah membawa bekal air
minuman bersih saat beraktivitas. Minimal, bila bekal air minuman bersih
yang dibawa habis, duit di kantong yang keluar tak terlalu banyak untuk
membeli minuman air.
Kualitas Air Bersih
Namun, membawa air minuman bersih dari rumah, ternyata mengandung
masalah yang tak enteng. Pasalnya, air bersih dari rumah meski telah
dimasak hingga mendidih ditengarai masih terkontaminasi senyawa kimia.
Di Jakarta, kontaminasi senyawa kimia ditemukan pada sampel air bersih
mencapai 0-50 persen. Sementara di Bekasi, Tangerang, Cilegon, Bogor,
dan Kerawang, kontaminasi senyawa kimia ditemukan pada sampel air bersih
mencapai 25-100 persen. (Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pemberantasan Penyakit Menular -BBTKL PPM-2008).
Bukan hanya terkontaminasi senyawa kimia, penelitian USAID pada 2008,
air bersih di DKI Jakarta, Bekasi, Kabupaten Bogor juga ditengarai
terkontaminasi koli tinja, bakteri dan ciliform. Buntut atas kualitas
air tersebut, masyarakat terancam berbagai penyakit. Bila ada bawaan
virus, maka penyakit hepatitis A/B, non hepatitis A/B, gastro enteritis,
poliomyelitis bakal bersarang di tubuh manusia.
Bila ada bawaaan bakteri di air minuman, penyakit perut pun tak akan
terhindari. Penyakit tiphus, Escherichia coli, disentri, dan diare bakal
menjangkit perut manusia. Dan bila ada bawaan logam berat, maka
penyakit minamata, itai-itai alias metilmerkuri, dan carsinogen menjadi
masalah yang akan dihadapi masyarakat.
Untuk urusan penyakit diare ini, Indonesia mencatat penderita
mencapai 124 juta jiwa atau 42 persen penduduk Indonesia pada 2006.
Persentase penderita diare di Tanah Air tersebut lebih besar dibanding
1996 yang hanya mencapai 28 persen. Mirisnya, angka kematian akibat
penyakit diare ini pun terus melonjak. Bila di 2006 hanya sebesar 2,5
persen, pada 2007 meningkat menjadi 5,5 persen (Studi World Bank-WSP,
2008).
Saatnya Kelola Air Bersih
Di tengah ancaman serius ketersediaan air minum bersih, berbagai
perusahaan minuman air bersih terus memacu strategi untuk mengembangkan
bisnis minuman air bersih. Namun demikian, alangkah baiknya di tengah
bisnis tersebut, masyarakat dan pemerintah juga memacu pengelolaan
minuman air bersih.
Sikap hemat penggunaan air bersih, perlindungan terhadap mata air,
dan penerapan teknologi tepat guna tentang air sehat bisa dilakoni
masyarakat dan pemerintah. Apalagi, cara sederhana mendapatkan air
bersih juga telah diujicoba. Masyarakat bisa menggunakan metode
pembuatan saringan air atau penjernih air sederhana melalui kain katun,
saringan kapas, aerasi, saringan pasir lambat, dan saringan pasir cepat.
Bukan hanya itu, alternatif mendapatkan air bersih juga bisa dilakoni
dengan menggunakan gravity-fed filtering system. Sistem ini merupakan
gabungan dari saringan pasir cepat dan saringan pasir lambat.
Masyarakat juga bisa menggunakan metode saringan pasir arang,
saringan air sederhana, saringan keramik, saringan batu cadas, dan
saringan tanah liat. Dari berbagai metode ini, sudah saatnya air bersih
membanjir di Indonesia. Jadi, tunggu apa lagi? Ayo, kelola air bersih
mulai saat ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar