Entri Populer

Selasa, 06 Desember 2011

Ketika Air Bersih Jadi ‘Barang Langka’ di Jakarta

Ikuti BusinessHYDRO di Twitter


JAKARTA -  Ahad (27/11/2011), Yudhie tak lagi kuat menahan dahaga.  Pria berambut gondrong ini menemui seorang pedagang air mineral di stand acara fun bike yang diselenggarakan harian Warta Kota di lapangan Banteng, Jakarta. “Ada air yang dingin, mbak?” tanya Yudhie pada pedagang perempuan, yang ramah menyambut kedatangan peserta fun bike.
“Ada, mau yang mana? tanya pedagang perempuan, mengangkat telapak tangan dan sejurus kemudian membuka pintu pendingin air sejumlah  minuman botol plastik kemasan 500 ml.
 “Itu saja yang warna jingga,” jawab Yudhie seraya menawarkan air minum kepada seorang rekannnya.
“Sampeyan mau minum yang mana. Monggo pilih,” tawar Yudhie.
“Kalau air mineral yang dingin ada mbak?” tanya rekan Yudhie.
“Sudah habis dari tadi. Tinggal yang ini saja. Kalau mau menunggu, teman saya sebentar lagi tiba,” jawab pelayan perempun diiringi senyum mengembang.
“Enggak usah, mbak. Sudah haus bangat, nih. Samakan saja dengan minuman teman saya,” pinta rekan Yudhie.
Mengeluarkan selembar duit senilai Rp 10 ribu, jual beli minuman segera tuntas. Dua botol plastik minuman  berisi 500 ml berada di tangan, dan langsung diseruput si empunya.
Inilah sepenggal kisah upaya mendapatkan air minuman siap saji di Ibu Kota Jakarta, yang dua bulan terakhir disergap teriknya sengatan matahari. Mahfum saja, sejak Oktober matahari ditengarai sejumlah peneliti Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) berada di atas Pulau Jawa.  Sehingga, warga yang tinggal di Pulau Jawa bakal merasakan teriknya sengatan matahari.
Bila ada uang di saku, persoalan dahaga saat beraktivitas di bawah teriknya sengatan matahari mudah ditangani dengan cepat. Dan untungnya, harga air minuman siap saji yang ditawarkan kepada konsumen tidaklah terlalu mahal. Pun, berbagai perusahaan air minuman kemasan berlomba-lomba menciptakan inovasi baru untuk menghadirkan produk minuman kemasan yang harganya tidak selangit, dan memikat konsumen.
Namun, upaya ‘darurat’ mengatasi dahaga tentunya tak akan selalu bergantung pada air minuman kemasan. Warga Jakarta pun mesti berhitung soal mendapatkan air minuman bersih ini. Bayangkan saja, bila sehari membutuhkan tiga botol kemasan senilai Rp 5000, itu berarti dalam sebulan kebutuhan mengatasi dahaga mencapai Rp 450 ribu. Dan dalam setahun menghabiskan dana sekitar Rp 5,4 juta. Cukup besar bukan?
Walhasil, upaya yang dilakoni warga Jakarta adalah membawa bekal air minuman bersih saat beraktivitas. Minimal, bila bekal air minuman bersih yang dibawa habis, duit di kantong yang keluar tak terlalu banyak untuk membeli minuman air.

Kualitas Air Bersih
Namun, membawa air minuman bersih dari rumah, ternyata mengandung masalah yang tak enteng. Pasalnya, air bersih dari rumah meski telah dimasak hingga mendidih ditengarai masih terkontaminasi senyawa kimia. Di Jakarta, kontaminasi senyawa kimia ditemukan pada sampel air bersih mencapai 0-50 persen. Sementara di Bekasi, Tangerang, Cilegon, Bogor, dan Kerawang, kontaminasi senyawa kimia ditemukan pada sampel air bersih mencapai 25-100 persen. (Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular -BBTKL PPM-2008).
Bukan hanya terkontaminasi senyawa kimia, penelitian USAID pada 2008, air bersih di DKI Jakarta, Bekasi, Kabupaten Bogor juga ditengarai terkontaminasi  koli tinja, bakteri dan ciliform. Buntut atas kualitas air tersebut, masyarakat terancam berbagai penyakit. Bila ada bawaan virus, maka penyakit hepatitis A/B, non hepatitis A/B, gastro enteritis, poliomyelitis bakal bersarang di tubuh manusia.
Bila ada bawaaan bakteri di air minuman, penyakit perut pun tak akan terhindari. Penyakit tiphus, Escherichia coli, disentri, dan diare bakal menjangkit perut manusia. Dan bila ada bawaan logam berat, maka penyakit minamata, itai-itai alias metilmerkuri, dan carsinogen menjadi masalah yang akan dihadapi masyarakat.
Untuk urusan penyakit diare ini, Indonesia mencatat penderita mencapai 124 juta jiwa atau 42 persen penduduk Indonesia pada 2006. Persentase penderita diare di Tanah Air tersebut lebih besar dibanding 1996 yang hanya mencapai 28 persen. Mirisnya, angka kematian akibat penyakit diare ini pun terus melonjak. Bila di 2006 hanya sebesar 2,5 persen, pada 2007 meningkat menjadi 5,5 persen (Studi World Bank-WSP, 2008).

Saatnya Kelola Air Bersih
Di tengah ancaman serius ketersediaan air minum bersih, berbagai perusahaan minuman air bersih terus memacu strategi untuk mengembangkan bisnis minuman air bersih. Namun demikian, alangkah baiknya di tengah bisnis tersebut, masyarakat dan pemerintah juga memacu pengelolaan minuman air bersih.
Sikap hemat penggunaan air bersih, perlindungan terhadap mata air, dan penerapan teknologi tepat guna tentang air sehat bisa dilakoni masyarakat dan pemerintah. Apalagi, cara sederhana mendapatkan air bersih juga telah diujicoba. Masyarakat bisa menggunakan metode pembuatan saringan air atau penjernih air sederhana melalui kain katun, saringan kapas, aerasi, saringan pasir lambat, dan saringan pasir cepat.
Bukan hanya itu, alternatif mendapatkan air bersih juga bisa dilakoni dengan menggunakan gravity-fed filtering system. Sistem ini merupakan gabungan dari saringan pasir cepat dan saringan pasir lambat.
Masyarakat juga bisa menggunakan metode saringan pasir arang, saringan air sederhana, saringan keramik, saringan batu cadas,  dan saringan tanah liat.  Dari berbagai metode ini, sudah saatnya air bersih membanjir di Indonesia. Jadi, tunggu apa lagi? Ayo, kelola air bersih mulai saat ini!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar