Entri Populer

Senin, 05 Desember 2011

Krisis Air Bukti Buruknya Pengelolaan Sanitasi

Ikuti BusinessHYDRO di Twitter


JAKARTA- Jakarta krisis air bersih, kok bisa? Itulah pertanyaan yang muncul di banyak benak masyarakat awam. Pasalnya, situasi ini justru terjadi di ibu kota, bukannya di daerah kering atau tandus yang memang rawan kekurangan air.

Sebagian warga Jakarta sejak malam Lembaran lalu hingga hari ini masih mengalami gangguan pasokan air bersih menyusul jebolnya tanggul Buaran, Jakarta Timur, sepanjang 10 meter pada 31 Agustus 2011. Dampak dari gangguan tersebut sekira 60-65 persen atau lebih dari 250.000 pelanggan Palyja tidak dapat menerima suplai air bersih.

Bahkan Istana Kepresidenan pun kena imbas krisis air. Sejumlah kamar mandi di dalam kompleks Istana kosong, termasuk di ruang wartawan. Tak ayal, pihak rumah tangga Istana meminta pasokan air kepada Palyja agar memasok air bersih melalui mobil tangki.

Saking kesalnya, warga Rumah Susun Tanah Abang mengancam akan ramai-ramai menguras air mancur di Bundaran Hotel Indonesia (HI), karena hingga hari ini air yang keluar dari pam hanya menetes dan berwara coklat. "Kalau enggak keluar, kita akan ambil air di Bundaran HI," tandas Fredy, penghuni Rumah Susun Tanah Abang, Blok 34 Lantai 3.

Pengamat Lingkungan dari Universitas Indonesia Tri Edhi Budhi Soesilo mengutarakan, sangat memalukan Jakarta sebagai ibu kota negara sampai terjadi krisis air bersih. Peristiwa tersebut adalah akumulasi dari buruknya pengelolaan sanitasi di Jakarta, yang ditandai tercemarnya sungai-sungai yang melintas di daerah terpadat di negara ini.

"Akibatnya, pasokan air tawar sebagai bahan baku dalam pengolahan air minum tidak bisa diambil dari sungai-sungai itu, karena sudah tercemar," terang Edhi dalam perbincangan dengan okezone, Senin (5/9/2011).

Tercemarnya 13 sungai yang ada di Jakarta juga diakui Corporate Communications Head PT Palyja Meyritha Maryanie. Air di 13 sungai di Jakarta sudah tidak bisa diolah menjadi air baku akibat tercemar. Jika air sungai itu bisa digunakan, maka krisis air bersih yang dipicu jebolnya tanggul di Kalimalang bisa diantisipasi. "Sungai-sungai yang ada di Jakarta sudah tidak bisa diolah, karena pencemarannya sangat tinggi," ungkap Meyritha.

Menurut Edhi, buruknya sanitasi di perkotaan seperti Jakarta adalah persoalan serius yang belum terselesaikan, bahkan seperti lingkaran setan. "Kali-kali di Jakarta sudah menjadi tempat pembuangan sampah umum. Dikit-dikit lempar sampah ke kali. Air sungai sebagai bahan baku air minum sudah kotor dan tercemar, maka biaya penjernihannya pun akan mahal. Ini semua nantinya dikembalikan ke konsumen yang akan membayar lebih mahal," ungkap Sekretaris Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia ini.

Sungai tercemar bakteri atau bahan kimia berbahaya, kata Edhi, pada dasarnya disebabkan rendahnya kesadaran warga dalam memelihara kebersihan sungai. Akibat rendah kesadaran ini, maka tidak bisa menuntut masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai. Justru pemerintah yang harus menggiatkan lagi kampanye bersih sungai agar kesadaran masyarakat tumbuh.

"Pemerintah juga jangan memfasilitasi pembangunan tempat pembuangan sampah, karena membuat masyarakat malas, tidak mau memanfaatkan sampah. Buatlah tempat pengolahan sampah sampai di tingkat RT/RW untuk memilah dan mengolah sampah menjadi bermanfaat, seperti kompos," jelasnya.

Untuk di Jakarta, ada masalah dengan tempat tapi itu bukan suatu kendala."Orang Indonesia itu sebenarnya gampang diatur. Diberi saja aturan yang tegas, terus diawasi dan pemerintah memberi teladan. Secara aturan dan konsep dalam penataan sanitasi ini sudah bagus, tapi persoalannya ada implementasi yang tidak konsistensi dan komitmennya rendah," kata Edhi.

Sebetulnya dalam perbaikan sanitasi perkotaan ini bisa dilakukan dengan memberdayakan masyarakat itu sendiri. "Coba optimalkan peran PKK dan Karang Taruna lingkungan masyarakat di sepanjang bantaran kali. Lalu diberi insensif, pelatihan, dan penyuluhan dalam pengolahan sampah. Setelah itu awasi ketat. Dengan pendekatan ini diharapkan masyarakat akan sadar dan tidak buang sampah ke kali. Ini yang tidak dilakukan berkesinambungan, tapi hanya angat-angat tahi ayam," beber dosen bidang lingkungan ini.

Di samping itu, perlu ada koordinasi dan kerja sama simultan antara Pemerintah DKI dengan daerah penyangga seperti Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, dalam rehabilitasi sungai yang tercemar. Sebab, dari 13 sungai tersebut, tidak semuanya berhulu di Jakarta.

"Jadi harus belajar dari sifat alam. Sungai itu ada hulu dan hilirnya. Nah, selamanya tidak bakalan berhasil warga Jakarta berusaha bersihkan Kali Ciliwung, jika orang Bogor dan Depok tetap buang sampah di bagian hulunya. Kerja sama ini yang belum terjalin, karena adanya arogansi. Anehkan, saat hujan Jakarta kebanjiran, tapi saat kemarau malah kekurangan air," jelasnya.

Edhi juga menyoroti masih minimnya dana APBN/APBD untuk perbaikan imfrastruktur sanitasi. "Kalau soal dana sanitasi, belum memadailah, masih kurang. Dalam alokasi anggaran program, juga tidak melihat aspek pertambahan penduduk. Coba lihat apakah pembangunan sarana sanitasi di Jakarta ini sudah disiapkan untuk 8 juta penduduk, belum kan?"

Pola pembangunan yang tidak ramah lingkungan pun berkontribusi besar terhadap penurunan kualitas sanitasi dan ketersediaan air bersih. "Banyak rawa-rawa dan danau yang diurug dan dijadikan kawasan pemukiman, sehingga cadangan air berkurang. Diperparah lagi perilaku membuang sampah ke kali kian menambah cepat laju kerusakan lingkungan," tandas Edhi.

Saat ini, air minum dan sanitasi menjadi masalah utama masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan kini berada di ambang Krisis air bersih. Sejumlah kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya tercatat mengalami masalah krisis air. Penduduk miskin perkotaan bisa mengeluarkan uang 10 kali lebih mahal demi mendapatkan air bersih.

Sementara itu WHO melansir pada tahun 2009 lebih dari 43 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan dengan prediksi pada tahun 2025 lebih dari 60 persennya akan tinggal di pusat kota. Mengutip catatan World Water Forum, hingga tahun 2025 sekitar 2,7 miliar atau lebih dari sepertiga penduduk dunia akan kekurangan air bersih jika keterancaman ini tidak segera diakhiri.

Ancaman krisis air ini semakin nyata ketika Jakarta hingga saat ini tidak memiliki sistem sanitasi terpadu. Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Peni Susanti mengatakan, sebanyak 80 persen pencemaran disebabkan limbah domestik. "Pencemaran di DKI itu lebih banyak akibat limbah domestik, karena Jakarta tidak punya sanitasi terpadu sehingga banyak perusahaan membuang sampah ke sungai dan sungai menjadi tercemar," kata Peni.  

BPLHD Jakarta mencatat 836 perusahaan belum mempunyai Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC). Menurut Peni, sebanyak 13 sungai di DKI Jakarta ini telah melewati tingkat kelas pencemaran yang ditetapkan pemerintah. Oleh karena itu, pihaknya tengah melakukan kerja sama dengaan Kementerian Lingkungan Kementerian, Lingkungan Hidup (KLH) untuk menangani pencemaran sungai.

Dalam laporan Wahana Lingkunan Hidup Indonesia (Walhi) disebutkan, krisis air bersih di Jakarta terjadi karena buruknya pengelolaan badan air meliputi aliran sungai dan sanitasi kota serta sejumlah situ yang tercemar limbah.

Tingkat pencemaran yang sangat tinggi mengakibatkan 13 aliran sungai hingga kanal banjir barat dan timur serta situ yang ada di Jakarta tidak bisa dimanfaatkan sebagai sumber air baku untuk olah menjadi air bersih. Sebab itu, Walhi menilai revitalisasi badan air harus ditetapkan secara tegas dalam peraturan daerah mengenai rencana tata ruang wilayah (RTRW) Jakarta 2030.

Seyogianya isu air dan sanitasi menjadi perhatian publik. Sebab, persoalan air sehat dan sanitasi ini sudah menjadi sorotan global. Untuk itu alokasi APBN sebesar Rpl4,2 triliun bagi pembangunan infrastruktur sanitasi pada 2010-2014 harus benar-benar tepat sasaran, meski jumlahnya relatif kecil. Itu semua tidak lain untuk mencapai target peningkatan akses sanitasi rumah tangga yang berkelanjutan menjadi 62,41 persen pada 2015.

Sanitasi adalah upaya pencegahan masalahan kesehatan dan kerugian ekonomi yang sangat efektif. Terlebih, PBB sudah mendeklarasikan bahwa akses untuk mendapatkan air bersih dan sanitasi termasuk dalam hak asasi manusia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar